Teman Teman, kali ini untuk memperkaya warna apresiasi puisi kita, saya akan sajikan puisi karya Penyair peraih Nobel Sastra, Gabriela Mistral. Dengan nama asli Lucia Godoy Alcayaga, ia dilahirkan tahun 1889 di Vicuna, Chile. Sebagai Penyair, puisi-puisinya sangat digemari dan berpengaruh luas di negerinya Chile, juga di Amerika latin. Ia juga diketahui pernah menjadi mentor bagi Penyair besar Chile lainnya yang juga meraih Nobel Sastra, Pablo Neruda, di masa-masa awal kepenyairan Neruda.
Bakatnya yang cemerlang sebagai Penyair mulai kelihatan dalam kumpulan puisi pertamanya Soneto de la Muente (1914), tetapi ia mulai dikenal luas lewat kumpulan puisi Desolacion (1922). Kumpulan ini memuat puisi-puisinya yang terbaik, dengan tema utama cinta dan hilangnya cinta, yang ditulisnya dengan kesederhanaan pedusunan.
Sebagaimana dijalani oleh beberapa Penyair Amerika latin, ia pun menjalani profesi sebagai diplomat selama hidupnya, yakni pernah menjabat sebagai konsul di Spanyol, Portugal dan Brasil.
Mistral menerima Hadiah Nobel Sastra tahun 1945 dan meninggal tahun 1957.
Bakatnya yang cemerlang sebagai Penyair mulai kelihatan dalam kumpulan puisi pertamanya Soneto de la Muente (1914), tetapi ia mulai dikenal luas lewat kumpulan puisi Desolacion (1922). Kumpulan ini memuat puisi-puisinya yang terbaik, dengan tema utama cinta dan hilangnya cinta, yang ditulisnya dengan kesederhanaan pedusunan.
Sebagaimana dijalani oleh beberapa Penyair Amerika latin, ia pun menjalani profesi sebagai diplomat selama hidupnya, yakni pernah menjabat sebagai konsul di Spanyol, Portugal dan Brasil.
Mistral menerima Hadiah Nobel Sastra tahun 1945 dan meninggal tahun 1957.
Pohon Liana
Dalam kegaiban malam
doaku memanjat bagai liana,
meraba-raba bagai si buta
lebih awas dari burung hantu.
Pada batang malam
yang dulu kaucinta, yang kucintai kini,
merambat doaku yang cabik-cabik,
koyak dan ditambal, bimbang dan yakin.
Di sini rambatan mematahkannya,
di sini angin semilir mengangkatnya,
angin ribut melempar-lemparkannya,
dan sesuatu yang tak kukenal
mencampakkannya kembali ke bumi.
Kini ia merambat bagai liana,
kini panas memancar ke atas, pada setiap denyut
diterima dan dikembalikan.
Doaku ada, aku tiada.
Ia tumbuh, dan aku lenyap.
Hanya kumiliki nafasku sesak,
akalku dan gilaku.
Kupegang erat-erat rambatan doaku.
Kurawat ia di akar
batang malam.
Senantiasa kejayaan hidup
yang itu juga, ajal yang itu juga,
kau yang mendengarku dan aku yang melihatmu.
Pohon rambat itu menegang, putus, berkerut,
mengoyak dagingku.
Rabalah ujungnya yang melemah
kalau doaku mencapaimu
sehingga kutahu kau telah menerimanya,
menahannya di malam panjang.
Sesaat malam mengeras,
keras bagai eucalyptus,
menjelma jalur jalan yang hitam
dan sunyi sungai yang beku.
Liana-ku memanjat dan memanjat
hingga sulurnya menyentuh sisimu.
Waktu batangnya patah, kau mengangkatnya,
dan karena sentuhnya aku mengenalmu.
Kemudian nafasku menderu,
hasratku menyala, pesanku berkobar seru.
Aku jadi hening. Kusebut namamu. Satu demi satu
kusebutkan semua namamu.
Liana membelai batang lehermu,
mengikatmu, melilitmu, dan akhirnya tenang syahdu.
Nafasku malang terengah
kata-kata menjelma air bah.
Doaku, sudah tertambat,
akhirnya tenang, dan akhirnya diam.
Kemudian kutahu: batang malam
darahku telah berlabuh,
gelendong patah tubuhku
terurai dalam doa;
dan kutahu: jerit tawakal,
memanjat lagi ke atas dan dalam memanjat
semakin sengsara, semakin tinggi panjatnya.
Pungut kumpulkan doaku malam ini.
Raih dan peganglah ia.
Tidur, sayangku, biarkan tidurku
datang padaku dalam doa,
dan kalau kita dulu di bumi,
kini kita pun tetap di sini.
(Terj. Sapardi Djoko Damono)
Catatan:
Liana, nama sejenis pohon merambat.
Eucalyptus, nama pohon yang batangnya keras.
Tajam mencekik...
ReplyDelete