Teman-Teman, kembali
untuk memberi warna pada apresiasi puisi kita, akan saya
sajikan puisi karya saya BINTANG KEJORA DI LANGIT SURABAYA. Puisi
ini masuk ke dalam genre puisi naratif. Dan puisi ini termuat
di dalam buku antologi puisi bersama Penyair Tangerang
Serumpun KADO UNTUK SANG TERDAKWA. Selamat menikmati.
BINTANG KEJORA DI LANGIT SURABAYA
sajak : enes.
Malam malam di langit kotaku, tak kutemukan lagi kejora. Pendar
bulatan cahaya sebesar telur angsa begitu memikat mata.
Maka kumasuki lorong-lorong dan pelosok malam, di setiap tubir
waktu, mencari kejoraku.
Dengan menenteng pelita minyak zaitun, kupanggil-panggil
kejoraku. Suaraku menggema, mengetuk-ngetuk dinding langit yang mengantuk dan
lena.
Dan langit pun terusik oleh suaraku. Para Bidadari dan Peri,
dengan tangga cahaya, turun berombongan menghampiriku, menyatakan simpati
padaku. Mereka memukul rebana, meniup seruling, memetik harpa, menari dan
menyanyikan puisi, agar kejora bangkit dari sembunyi. Berdatangan pula
burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan,
bergabung bersama Peri dan Bidadari. Mereka memanggil-manggil kejora dengan
bahasa mereka.
Tapi kejora tetap juga sembunyi.
Maka di dalam malam yang kian menganga, kami lakukan perjalanan
panjang amat mistis mencari kejoraku.
Kami lewati hutan-hutan, kami lewati persawahan, kami lewati
sungai-sungai, kami lewati danau-danau, kami lewati gunung-gunung, kami lewati
pemakaman.
Waktu lewat dan sunyi memeluk kami.
Kami tiba di pelabuhan.
Kapal-kapal lelap di tepi dermaga, di bawah cahaya dingin bulan
yang sayup. Lelah berjalan, kami istirah di lantai dermaga. Setengah putus asa,
kami seakan tak berniat bersuara. Hanya detak jantung dan nafas kami saling
mencerna.
Waktu lewat dan resah memeluk kami.
Tiba-tiba, ketika aku tertarik mendongak langit, aku melihat
segumpal awan tebal di utara menjauh mendekat bulan. Perlahan dan hati-hati,
menyembul kulihat pendar cerlang cahaya dari sepotong bulatan kecil yang makin
penuh dan penuh seiring ditinggal pergi awan mendekat melintas bulan. Dan ahai,
aku terperangah, sempurna sudah pendar cahaya dari bulatan sebesar telur angsa
begitu memikat mata kini kusaksikan. Tak ragu sudah, aku telah menemukan
kejoraku di atas langit pelabuhan ini! Aku telah menemukan kejoraku! Dengan
gembira yang histeria, kubangunkan para Peri, Bidadari, burung-burung malam,
kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan, dari termangu mereka.
Nyaris serempak mereka pun mendongak langit menatap kejora bagai tak percaya.
Dan sesaat kemudian, dengan gembira yang juga histeria, mereka mulai pula
berpesta. Mereka memukul rebana, memetik harpa, meniup seruling dan menyanyikan
puisi-puisi surgawi sambil menari berputar-putar melingkar dalam sebuah tarian
yang amat ritmis, menyambut kejora. Aku bagai tak puas-puas memandangi kejora
yang terus menerus tersenyum amat sumringah.
Waktu lewat dan damai yang purna memeluk kami.
Tiba kini saat aku harus menjemput kejora untuk kubawa ke langit
kotaku dan kumasukan ke dalam rumahku. Keharuan perpisahan mulai menjalari
hatiku saat tangga cahaya mulai menuruni langit ke atas dermaga. Para Bidadari
dan Peri, burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu
bulan, memandangiku bagai tak rela. Aku merasakan rebak air mata di dada
mereka.
Seraya melambai dan menoleh beberapa kali pada sahabat-sahabatku
para Bidadari dan Peri, burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan
srigala-srigala perindu bulan, dengan berat hati kutinggalkan mereka menaiki
tangga cahaya untuk menjemput kejoraku. Malam begitu hening dan kudus. Tak ada
suara-suara. Aku merasakan di dada para Bidadari dan Peri, burung-burung malam,
kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan, deras meleleh sudah air
mata, berbarengan dengan deras lelehan air mata di dadaku. Tapi kutetapkan
hatiku untuk melangkah terus menaiki tangga cahaya untuk menjemput kejoraku.
Semakin tinggi aku menaiki tangga cahaya, semakin kurasakan berkurang kesedihan
perpisahan. Kini kegembiraan yang tiada tara mulai menjalari seluruh dinding-dinding
hatiku. Kurasakan juga kegembiraan tiada tara pada wajah kejora. Senyumnya
kulihat makin sangat sumringah. Pendar-pendar cahaya cemerlang dari bulatan
sebesar telur angsa begitu memikat mata! Oh…aku dirasuki kerinduan berabad-abad
purba bermilyar tahun perjalanan cahaya. Aku merasakan kerinduan yang sama pula
pada mata kejora.
Kini sampai sudah aku pada kejora. Dalam diam yang lama, kami
hanya saling bertatap dan bertukar senyuman. Hanya isi dada kami saling
memaknai dan bicara. Dan akhirnya, leburlah semua kerinduan purba kami dalam
waktu yang tiba-tiba begitu sangat memendekkan jarak kami. Kami saling berpeluk
dan berpagut, dalam selubung cahaya, dalam lingkar waktu bermilyar tahun
perjalanan semesta yang memendek menjadi kini, tak ingin lepas-lepas lagi. Tak
ingin lepas-lepas lagi. Tak ingin lepas-lepas lagi.
Waktu lewat. Malam dini hari menjelang pagi.
Tangerang, 28 November 2010.
Comments
Post a Comment